Kamis, 28 Februari 2013

Asal Usul Keahlian Manusia Minum Bir Terkuak

 

Budaya minum bir atau minuman beralkohol lainnya pada manusia ternyata bisa dilacak melampaui masa peradaban kuno. Perilaku itu berakar pada perilaku moyang spesies manusia, bangsa primata, seperti orangutan dan simpanse.

Pakar kimia, Steven Benner, dari Foundation for Applied Molecular Evolution di Gainesville, Florida, menguraikan hal tersebut berdasarkan hasil penelitiannya. Ia meneliti kode genetik yang berperan dalam pembentukan enzim pencerna alkohol, alkohol dehidrogenase (ADH4).

Kode genetik dari enzim ADH4 pada 27 spesies primata dianalisis. Hipotesis Benner, pasti ada primata yang tak memiliki ADH4 dan kemampuan ADH4 dalam mencerna alkohol pada masing-masing spesies pun berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan, kebanyakan moyang primata sebenarnya tidak dapat mencerna alkohol. Namun, primata berikutnya yang berkembang seperti gorila, simpanse, dan manusia memiliki kemampuan tersebut. Hasil riset ini dipaparkan pada pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science beberapa waktu lalu.

Menurut Benner, kemampuan enzim untuk mencerna alkohol pada primata modern jauh lebih kuat. Dibandingkan dengan versi sebelumnya, anzim pencerna alkohol versi sekarang mampu bekerja 50 kali lebih efisien.

Bagaimana primata hingga manusia mengembangkan kemampuan itu? Benner seperti diuraikan Daily Mail, Selasa (19/2/2013), mengatakan, kemampuan itu mulai berkembang dengan adanya buah-buahan yang jatuh dari pohon dan terfermentasi.

Proses evolusi membuat beberapa primata bisa beradaptasi dan memakan buah terfermentasi itu. Primata yang mampu memakannya punya peluang bertahan lebih besar. Kemampuan ini berkembang sejak 10 juta tahun lalu. Pada akhirnya, kemampuan itu diturunkan ke generasi primata berikutnya hingga ke spesies manusia.


SOURCE

Banyak Situs Hindu Buddha Sumatera Raib

Candi Sojiwan terlihat berdiri megah di Desa Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Rabu (23/1/2013) pagi. Candi Sojiwan yang awalnya tak berbentuk kini berdiri megah setelah dipugar selama 15 tahun sejak tahun 1996 hingga 2011. Keterlibatan masyarakat setempat untuk menjaga peninggalan purbakala menjadi salah satu penentu keberhasilan pemugaran candi Mataram Kuno yang dibangun pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi ini.
Situs peninggalan masa Hindu Buddha banyak yang hilang dan tidak ditemukan lagi di Sumatera bagian utara. Banyaknya situs yang hilang ini menimbulkan kerugian sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

”Peneliti jadi kesulitan mencari jejak peradaban masa Hindu-Buddha yang juga pernah berkembang di Sumatera bagian utara,” kata Bambang Budi Utomo, peneliti senior masa Hindu-Buddha dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas), Rabu (27/2/2013), di Jakarta.

Hilangnya situs-situs bersejarah tersebut antara lain karena faktor alam, seperti gempa bumi dan banjir. Selain itu, juga karena faktor manusia, seperti merusak dan mengambil situs.

Peninggalan Hindu-Buddha yang pernah ditemukan di Aceh adalah arca Bodhisatwa bermahkota tiga Buddha Amitabha. Ditelisik dari angka tahunnya, arca itu berasal dari abad ke-8-9 Masehi.

”Itu indikasi bahwa di Sumatera bagian utara pernah berkembang ajaran Buddha. Meski demikian, penyebaran Hindu Buddha di kawasan utara Sumatera tidak banyak disebut,” kata Bambang.

Erry Sudewo, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, mengungkapkan, peninggalan Hindu Buddha di Aceh bisa dilacak di Barus, kota pelabuhan di pantai barat Aceh. Pada zaman kolonial Belanda, pernah dibawa satu arca Bodhisatwa berbahan granit merah dengan kapal ke Batavia. Meski demikian, keberadaan arca besar itu tidak terlacak hingga kini. Konon, arca itu tenggelam bersama kapal yang mengangkutnya.

Di Barus juga ditemukan prasasti beraksara dan berbahasa Jawa kuno. Sayangnya, tulisan di atas prasasti itu sudah sangat tipis, tidak lagi terbaca. Isi prasasti dari abad ke-9 Masehi itu menyatakan adanya serikat dagang Tamil di Barus.

Situs besar

Bambang mengatakan, selama ini para peneliti lebih banyak menggali peradaban Hindu Buddha dari situs-situs Sriwijaya di Palembang dan Muaro Jambi. Padahal, selain Aceh, di Provinsi Sumatera Utara ada situs besar, yaitu kota China di Medan dan situs Padang Lawas di Kabupaten Padang Lawas.

Situs Padang Lawas luasnya 1.500 kilometer persegi dan banyak ditemukan sebaran candi Buddha Tantrayana. Aliran Buddha Tantrayana ini berkembang dari Buddha Mahayana di Palembang.

Erry mengakui, situs-situs tersebut belum dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya. Para peneliti di Balai Arkeologi Medan kini mengarahkan penelitiannya melalui jejak tradisi masyarakat setempat. Di utara Padang Lawas, jejak tradisi peninggalan Hindu Buddha masih sangat kuat, antara lain dalam bentuk aksara tradisional Batak yang merupakan turunan aksara Palawa dari India selatan.


SOURCE

Ini Alasan Dinosaurus Punya Leher Panjang

PeerJ Perbandingan panjang leher beberapa jenis dinosaurus.

Dinosaurus dikenal sebagai fauna purba yang memiliki leher begitu panjang. Golongan sauropoda memiliki panjang leher mencapai 15 meter, enam kali lebih panjang dari leher jerapah.

Ilmuwan bertanya-tanya, mengapa sauropoda bisa memiliki leher panjang ekstrem dan tak proporsional itu.

Sebuah penelitian yang dilakukan Michael Taylor, seorang paleontolog vertebrata dari University of Bristol, Inggris, berhasil mengungkap rahasia leher panjang yang dimiliki kelompok sauropoda tersebut.

Berdasarkan hasil riset itu, terungkap bahwa salah satu yang mendukung berkembangnya leher panjang pada sauropoda adalah tulang leher yang berongga.

Tak cuma itu, perkembangan leher panjang pada sauropoda juga didukung oleh susunan tulang kerangka (torso), struktur tulang, posisi otot, tendon serta ligamen yang dimiliki hewan purba tersebut.

Bentuk torso Sauropoda yang sangat besar dan berkaki empat membantu binatang itu menjaga kestabilan leher mereka.

Bentuk tubuh yang kokoh dan stabil membuat Sauropoda bisa menopang leher sepanjang 15 meter. Berbeda dengan jerapah, binatang dengan leher terpanjang saat ini. Leher sepanjang 2,4 meter merupakan panjang maksimum yang bisa ditopang oleh torsonya yang kecil.

Jumlah tulang leher Sauropoda bisa mencapai 19 buah. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan jumlah tulang leher yang dimliki mamalia saat ini yang umumnya tidak lebih dari tujuh.

Analisis mengungkap bahwa struktur tulang Sauropoda sangat ringan. Ilmuwan menduga, tulang sauropoda sama ringannya dengan tulang burung saat ini. Sebanyak 60 persen dari tulang Sauropoda terdiri dari rongga udara.

Hal lain yang mendukung adalah susunan otot, tendon, dan ligamen di leher binatang purba tersebut.

Berbeda dengan pterosaurus jenis Arambourgiania yang memiliki kepala relatif besar dan paruh menyerupai tombak untuk menangkap mangsa, sauropoda memiliki kepala yang kecil. Dengan demikian, mereka mudah untuk menyokong leher panjang.

Selain itu, dinosaurus ini tidak mengunyah makanan mereka. Sauropoda langsung menelan makanannya dan membiarkan organ pencernaan yang mengolahnya.

“Seluruh bagian kepala Sauropoda seolah bagian mulut mereka. Titik pertemuan tulang rahangnya terletak dibagian tengkorang paling belakang, mereka juga tidak punya tulang pipi. Bentuk kepala mereka sangat mirip dengan bentuk kepala Pac Man,” kata Mathew Wedel, peneliti di Western University of Health Sciences di Pomona, California, kepada Livescience hari Sabtu (23/02/2013).

Lalu, apa gunanya leher panjang itu? Ada beberapa teori yang menjelaskannya namun jawab pastinya belum diketahui.

Beberapa ilmuwan menilai, sauroposa memakan daun di tumbuhan tinggi seperti jerapah saat ini. Karenanya, leher panjang dibutuhkan. Ilmuwan lain beranggapan, leher panjang berfungsi seperti angsa, membantu sauropoda menjangkau makanan di depannya lebih jauh.

Selain soal jangkauan makanan, ada pula ilmuwan yang berpandangan bahwa leher panjang atraktif secara seksual. Oleh sebab itu, sauropoda mengembangkannya.

Hasil penelitian Taylor dan Wedel ini telah dipublikasikan di Journal PeerJ secara online pada 12 Februari 2013.


SOURCE

Sabtu, 23 Februari 2013

Peneliti Kontroversial Simpulkan Bigfoot Makhluk Hibrida

Hasil kesimpulan penelitian ini masih kontroversial karena dikritik menggunakan metode yang tidak ilmiah.

bigfoot
Ilustrasi bigfoot. (thinkstockphoto)

Sekelompok peneliti yang dipimpin Melba Ketchum dari DNA Diagnostics di Nacogdoches, New Mexico, Amerika Serikat, mengklaim berhasil mengurutkan genom dari bigfoot (Sasquatch). Hasil penelitian ini mereka telurkan dalam jurnal DeNovo --jurnal yang dibeli dan dinamai sendiri oleh Ketchum karena peneliti konvensional pada umumnya menolak hasil studi ini, Selasa (19/2).

Dalam studi kelompok Ketchum dipaparkan bahwa sesungguhnya bigfoot adalah makhluk hibrida. Ia tercipta berkat persilangan antara Homo sapiens perempuan dan pria dari spesies hominin yang belum terindentifikasi.

Kesimpulan ini mereka raih setelah mempelajari 111 sampel DNA yang diyakini berasal dari bigfoot. Berupa rambut, bulu, daging, dan darah. Tim ini kemudian mengurutkan 20 genom mitokondria lengkap, 10 genom mitokondria yang hanya sebagian, dan tiga genom nuklir lengkap.

Meski demikian, hasil penelitian ini menerima banyak kritik. Terutama mengenai DNA yang diyakini sudah terkontaminasi gen manusia modern. Selain itu, tim pimpinan Ketchum juga berspekulasi persilangan bigfoot terjadi karena ada manusia yang berpindah ke Greenland dengan cara berjalan. Padahal bukti mengenai hal ini tidak pernah ada.

Bigfoot merupakan mahkluk yang kerap digambarkan tinggi besar dengan bulu mirip monyet. Namun, kehadirannya masih dipertanyakan dan hanya dikaitkan dengan mitos-mitos lokal. Beberapa klaim yang menyebut sempat bertemu bigfoot ternyata merupakan tipuan.

Seperti yang terjadi pada tahun 2008 ketika dua pria mengaku menemukan mayat dari bigfoot setinggi dua meter di hutan selatan Georgia, AS. Setelah ditelusuri, ternyata laporan tersebut palsu. "Mayat" bigfoot yang didokumentasikan kedua pria itu merupakan kostum bulu. Hasil DNA yang diserahkan pun merupakan campuran dari manusia dan opossum.